Rabu, 08 Juni 2011

Abu Dzar Al Ghifari - Tokoh Gerakan Hidup Sederhana

Nama aslinya ialah Jundub bin Junadah, seorang radikal dan revolusioner. Ghifar adalah suatu kabilah atau suku yang tak ada taranya dalam soal menempuh jarak. Mereka jadi tamsil (contoh) perbandingan dalam melakukan perjalanan yang luar biasa. Malam yang kelam dan gelap gulita tidak menjadi soal bagi mereka, dan celakalah orang yang kesasar atau jatuh ke tangan kaum Ghifar di waktu malam.
Suku Ghifar bersaudara dengan suku Aslam. Kedua suku ini terkenal sebagai Raksasa Garong atau perampok.
Abu Dzar Al Ghifari seorang yang tajam pengamatannya tentang kebenaran. Ia termasuk salah seorang yang menantang pemujaan berhala-berhala. Ia pun seorang yang sangat pemberani.

Ketika ia mendengar bangkitnya seorang Nabi yang menyeru kepada Allah Yang Maha Perkasa serta mencela berhala dan para pemujanya, maka ia pun menyiapkan bekal dan segera mengayuhkan langkahnya.
Dengan terhuyung menjalani perjalanan yang sulit dan udara padang pasir yang teramat panas, tetapi matanya bersinar bahagia, tujuan yang hendak di apainya telah meringankan penderitaannya dan meniupkan semangat serta gembira dalam jiwa.
Ia memasuki kota Mekkah dengan menyamar agar tidak mengetahui tujuannya untuk bertemu kepada Rasulullah. Ia terus melangkah sambil memasang telinga untuk mendapatkan informasi dimana ia dapat bertemu dengan Rasulullah. Sewaktu ia beristirahat, ia bertemu dengan Ali bin Abi Thalib yang masih anak-anak, kemudian Ali mengajaknya kerumahnya dan di jadikan tamunya serta menjamunya tanpa menanyakan asal dan tujuannya ke Mekkah. Abu Dzar di pertemukan kepada Rasulullah oleh Ali bin Abi Thalib.
Ketika Abu Dzar bertemu Rasulullah, ia pun meminta agar Rasulullah membacakan hasil gubahannya, Rasul bersabda bahwa itu bukan syair yang dapat di gubah, tapi itu ialah Quram yang mulia, kemudian dibacakanlah oleh Rasulullah, sedang Abu Dzar mendengarkan dengan penuh perhatian, tak berselang lama ia pun menyerukan kalimat Syahadat.
Abu Dzar adalah orang yang termasuk dari tujuh orang pertama yang masuk islam di masa penyebaran Islam secara sembunyi-sembunyi.
Abu Dzar pun bertanya kepada Rasulullah: apa yang harus ia kerjakan, Rasulullah bersabda
“ Kembalilah kepada kaummu sampai ada perintahku nanti”
Namun Abu Dzar menolak untuk pulang sebelum ia meneriakkan Islam di Masjidil Haram.
Ia pun pergi ke Masjidil Haram, disana ia berteriak sekencang-kencangnya mengucapkan kalimat Syahadat. Teriakannya membuat kaum Quraisy jengkel dan kemudian mengepung dan memukulnya sampai roboh. Keesokan harinya ia melihat dua wanita sedang thawaf mengelilingi berhala, ia pun berdiri dihadapan mereka, berhala itu dihinanya sejadi-jadinya. Kedua wanita itu berteriak hingga orang-orang datang dan memukulnya sampai tak sadarkan diri.
Maklumlah sudah Rasulullah saw, akan watak dan tabiat murid barunya yang ulung serta keberaniannya yang menakjubkan dalam melawan kebathilan ini, hanya saja saatnya belumlah tiba, maka diulanginyalah perintah agar dia pulang, sampai bila telah didengarnya nanti Islam lahir secara terang-terangan dan ia dapat kembali untuk turut mengambil bagian dalam percaturan dan aneka peristiwa.
Abu Dzar kembali kepada keluarga serta kaumnya, ia menceritakan tentang Nabi yang baru diutus Allah, yang menyeru agar mengabdi kepada Allah Yang Maha Esa dan membimbing supaya berakhlaq mulia. Satu persatu keluarga dan kaumnya masuk islam dan dilanjuti oleh kaum Aslam.
Kini seluruh warga Ghifar dan Aslam telah masuk Islam, nereka diberi hidayah Allah melalui Abu Dzar Al Ghifari. Raksasa garong dan komplotan syetan kini telah beralih rupa menjadi raksasa kebajikan dan pendukung kebenaran.
Hari-hari berlalu, Rasulullah telah hijrah dan menetap di Madinah besama kaum muslimin. Abu Dzar pun mengerahkan seluruh warga Ghifar dan Aslam tanpa kecuali laki-laki, perempuan, orang tua, remaja maupun anak-anak, membuat barisan yang panjang dengan suara takbir yang bergemuruh melangkah menuju kota Madinah.
Sesampainya di Masjid Rasulullah, Rasulullah melayuangkan pandangannya kepada wajah-wajah berseri-seri, pandangannya yang diliputi rasa haru dan cinta kasih. Sambil menoleh kepada suku Ghifar ia bersabda :
“Suku Ghifar telah di ghafar – diampuni – oleh Allah”
Kemudian beliau menoleh kepada suku Aslamm sabdanya :
“Suku Aslam telah di salam – diterima dengan damai – oleh Allah”
Dan kepada Abu Dzar, tak pelak lagim ucapan yang istimewa, ganjaran yang tak terhingga, ucapan yang dipenuhi berkah, sabdanya :
“Takkan pernah lagi dijumpai di bawah langit ini, orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar…”
*****
Sungguh Rasulullah, bagai membaca hari depan Abu Dzar. Dengan penglihatan yang tajam bagai menembus kea lam ghaib yang jauh tidak terjangkau, Rasulullah saw menampakkan kesusahan yang akan dialami oleh Abu Dzar sebagai akibat dari kebenaran dan ketegasannya, Rasulullah berpesan:
“wahai Abu Dzar ! bagaimana pendapatmu bila menjumpai para pembesar yang mengambil barang upeti untuk diri mereka pribadi ? Abu Dzar menjawab: Demi yang telah mengutus anda dengan kebenaran, akan saya tebas mereka dengan pedangku ! Sabda Rasulullah pula : Maukah kamu aku beri jalan yang lebih baik dari itu.. ? ialah bersabar sampai kamu menemuiku”
Pada masa Khalifah Utsman, Abu Dzar melihat adanya tanda-tanda dimana panji-panji kepentingan pribadi menyeret dan mendepak orang-orang yang tugasnya sehari-hari menegakkan panji-panji Allah. Harta yang di jadikan Allah sebagai pelayan manusia justru berbalik menjadi tuan pengendali manusia, jabatan yang merupakan amanat untuk di pertanggungjawabkan di hadapan Ilahi, beralih menjadi alat untuk merebut kekeuasaan, kekayaan dan kemewahan.
Kalau bukan karena Rasulullah melarangnya mengangkat pedangnyam Abu Dzar pasti akan menghunuskan pedangnya kepada masyarakat yang telah menyimpang dari ajaran Islma. Maka jika tidak menggunakan pedang, ia dapat menggunakan kata-kata.
Pergilah Abu Dzar menemui para pembesar, hartawan dan kepada semua orang yang menumpuk harta, dengan lisannya yang tajam dan benar itu merubah sikap mental mereka satu persatu.
Nama Abu Dzar terdengar kemana-mana dan menimbulkan rasa takut dan geri hati bagi para penguasa dan golongan berharta yang berlaku curang.
Suatu ketika Abu Dzar pergi ke Syria, wilayah yang paling subur, paling kaya, tempat bercokolnya Muawiyah dan Abi Sufyan. Sesampainya di sana Abu Dzar justru di sambut oleh orang-orang miskin dan rakyat jelata, padahal negeri itu adalah negeri yang kaya, tapi justru banyak orang-orang yang miskin dan tidak mendapatkan haknya.
Dengan tidak gentar, didatanginya Muawiyah, kembali lisannya yang tajam menasehati Muawiyah, Muawiyah menyadari adanya bahaya bagi kedudukannya di Syria. Ia pun menulis surat kepada khalifar Utsman. Dikatakannya bahwa Abu Dzar telah merusak orang-orang Syria.
Khalifah pun memanggil Abu Dzar dan menyuruhnya untuk duduk disampingnya dan akan di sediakan segala keperluannya. Namun Abu Dzar menolak, justru meminta izin untuk tinggal di Rabadzah.
Ia pun tinggal di padang pasir Rabadzah, jauh dari kemewahan dan manisnya dunia yang dapat membinasakan. Dan pada saat ia menghadapi sakaratul maut, ia hanya di temani oleh istri dan seorang anaknya.
Wanita yang kurus berkulit kemerah-merahan itu duduk disampingnya sambil menangis. Terjadilah suatu percakapan yang amat romantis dan mengharukan. Abu Dzar bertanya :
“Apa yang kau tangiskan, padahal maut itu pasti dating ?” jawabnya “karena anda akan meninggal, padahal pada kita tak ada kain untuk kafanmu!”. Sambil tersenyum, Abu Dzar berkata “Janganlah menangis! Pada suatu hari, ketika saya sedang berada di sisi Rasulullah bersama beberapa orang sahabatnya, saya dengar beliau bersabda “Pastilah ada salah seorang diantara kalian yang akan meninggal di padang pasir liar, yang akan disaksikan nanti oleh serombongan orang-orang beriman..!” “Semua yang hadir di majlis itu telah meninggal di kampung dan di hadapan kaum muslimin, tak ada lagi yang hidup kecuali daku… Nah inilah daku sekarang menghadapi maut di padang pasir, maka perhatikanlah oleh mu jalam… siapa tahu kalau-kalau rombongan orang-orang beriman itu sudah dating! Demi Allah saya tidak bohong dan tidak pula dibohongi!”
Dan ruhnya pun kembali ke hadirat Allah .. dan benarlah , tidak salah…
Lalulah satu rombongan kaum mu’minin yang dipimpin Abdullah bin Mas’ud. Melihat sesosok tubuh yang terbujur seperti mayat yang didampingi seorang wanita dan anaknya yang kedua-duanya sedang menangis, Ibnu Mas’ud pun membelokkan kekang kendaraannya menghampiri mereka.
Ketika pandangan Ibnu Mas’ud jatuh ke tubuh mayat, tampak olehnya wajah sahabatnya, saudara seagama dan saudara seperjuangan dalam membela agama Allah, yakni Abu Dzar. Demi melihat sahabatnya itu, air matanya mengucur deras, dan dihadapan tubuh mayat yang suci itu ia berkata :
“Benarlah ucapan Rasulullah… Anda berjalan sebatang kara… mati sebatang kara… dan dihidupkan nanti sebatang kara…!”
Ibnu Mas’ud pun duduk, lalu menceritakan kepada sahabatnya maksud dari pujiannya yang diucapkannya itu.
Di waktu perang Tabuk melawan pasukan Romawi, di saat musim susah dan panas terik, medan yang susah dilalui serta jauh jaraknya, Rasulullah menyerukan kaum muslimin untuk berjihad, namun sebagian kaum muslimin ada yang enggan ikut karena berbagai alas an. Kemudian berangkatlah Rasulullah bersama beberapa orang kaum muslimin, semakin jauh perjalanan semakin bertambah sulit pula kesulitan dan kesusahan yang diderita kaum muslimin.
Dalam perjalanan itu pun terdapat beberapa orang yang tertinggal di belakang, termasuk Abu Dzar Al Ghifari. Keledainya memang amat lelah, kemudian Abu Dzar pun turun dari keledainya dan dipikulnya barang-barangnya, karena takut tertinggal jauh dengan rombongan, ia pun berjalan. Langkahnya dipercepat ditengah-tengah padang pasir yang panas agar dapat menyusul Rasulullah dan para sahabatnya.

Di waktu pagi, ketika kaum muslimin sedang beristirahat, terlihat di kejauhan seorang yang sedang berjalan dengan cepat, musafir mulia itu mendekati mereka secara lambat, langkahnya bagai disentakkan pasir lembut yang membara, sementara beban di punggung bagai menggantungi tubuhnya. Namun ia tetap gembira penuh harapan, karena berhasil menyusul kafilah yang dilingkungi berkah.
Setelah ia dekat kepada rombongan, seorang berseru: Wahai Rasulullah ! Demi Allah ia adalah Abu Dzar” sementara Abu Dzar menujukan langkahnya ke arah Rasulullah. Dan demi Rasulullah melihatnya, tersungginglah senyuman Rasulullah, sebuah senyuman yang penuh santun dan belas kasihan, sabdanya :
“Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Abu Dzar…! Ia berjalan sebatang kara… meniggal sebatang kara… dan di bangkitkan sebatang kara…!
Demikianlah yang diceritakan Abdullah bin Mas’ud
Abu Dzar wafat di padang pasir Rabadzah sebatang kara, setelah sebatang kara pula ia menempuh hidup yang luar biasa yang tak seorang pun menyamainya. Dan dalam lembaran sejarah, ia muncul sebatang kara – yakni orang satu-satunya, baik dalam keagungan zuhud maupun keluhuran cita, dan kemudian disisi Allah ia akan dibangkitkan nanti sebagai tokoh satu-satunya pula, karena dengan tumpukan jasa-jasanya yang tak terpemadai banyaknya, tidak ada lowongan bagui orang lain untuk berdampingan…!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Islamic Clock

Islamic Calendar

Mengenai Saya

Foto saya
Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia

Hadits Shahih Al Bukhari

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

Pages